Oleh: Mahmud Budi Setiawan
tokoh yang membid’ahkannya, maka perlu kiranya
mengulas pendapat Imam Empat Madzhab (Hanafi, Maliki, Syafi’i, dan
Hanabilah) mengenai hukum Shalat Jum’at di luar Masjid.
Sebelum menjelaskan lebih jauh, ada beberapa catatan penting yang perlu diketahui:
Pertama, keharusan shalat Jum’at di masjid masih ikhtilaf (ada perbedaan pendapat di kalangan Imam Empat).
Kedua, perbedaan ini disebabkan ada yang menganggap masjid sebagai syarat shalat Jum’at dan ada yang menganggapnya bukan syarat.
Ketiga, shalat Jum’at pertama tidak dilaksanakan di masjid.
Keempat, ada riwayat:
حدثنا عبد الله بن إدريس عن شعبة عن عطاء بن أبي ميمونة عن أبي رافع عن
أبي هريرة أنهم كتبوا إلى عمر يسألونه عن الجمعة فكتب جمعوا حيث كنتم
Telah menceritakan kepada kami ‘Abdullah bin Idriis, dari
Syu’bah, dari ‘Athaa’ bin Abi Maimuun, dari Abu Raafi’, dari Abu
Hurairah : Bahwasannya para shahabat menulis surat kepada ‘Umar (bin
Al-Khaththaab) bertanya kepadanya tentang shalat Jum’at. Lalu ‘Umar
menulis balasan : “Shalat Jum’atlah dimana saja kalian berada”
[Diriwayatkan oleh Ibnu Abi Syaibah, 2/101; sanadnya shahih].
Kelima, dalam sunnah dijelaskan bahwa dijadikan untuk umat Islam semua bumi masjid (tempat sujud) yang suci untuk shalat.
Syeikh Abdurrahman Al-Jaziri dalam kitabnya yang berjudul al-Fiqhu
‘Ala al-Madzāhib al-Arba’ah (I/602) dengan sangat baik menyebutkan
perbedaan mengenai masalah ini.
Tiga Imam madzhab (Hanafi, Syafi’i, Hanbali) sepakat mengenai
kebolehan shalat Jum’at di tempat terbuka, lapang (di luar masjid).
Sedangkan Malikiyah berpendapat bahwa shalat Jum’at tidak sah, kecuali di masjid.
Pendapat Malikiyah :
Tidak sah melaksanakan shalat Jum’at di rumah dan tempat terbuka. Harus ditunaikan di masjid jami’.
Pendapat Hanabilah :
Sah shalat Jum’at yang dilakukan di tempat terbuka (di luar masjid)
jika dengan dengan bangunan. Ukuran dekat yang teranggap sesuai dengan
kebiasaan. Jika tidak dekat –secara adat- maka shalatnya tidak sah. Jika
imam shalat Jum’at di gurun pasir maka ia mewakilkan orang untuk shalat
dengan masyarakat.
Pendapat Syafi’iyah:
Sah shalat Jum’at di tempat terbuka jika dekat dengan bangunan.
Ukuran dekatnya menurut mereka ialah jarak yang seorang musafir tidak
boleh mengqashar shalat ketika sampai pada jarak itu. Contoh fadha
(tempat terbuka) seperti halaman yang terletak di dalam pagar negeri
jika memiliki pagar.
Sebagai tambahan, Ibnu Hajar Al-Haitsami As-Syafi’i menjelaskan:
أَنَّ الْجُمُعَةَ لَا يُشْتَرَطُ لِصِحَّةِ إقَامَتِهَا الْمَسْجِدُ
كما صَرَّحُوا بِهِ فَلَوْ أَقَامُوهَا في فَضَاءٍ بين الْعُمْرَانِ
صَحَّتْ
“Sesungguhnya Jum’at tidak disyaratkan keshahannya di masjid.
Sebagaimana mereka secara tegas berpendapat sekiranya mereka
melaksanakan shalat Jum’at di tempat terbuka di antara gedung atau
bangunan maka shalatnya sah.” (al-Fatawa al-Fiqhiyyah al-Kubra, I/234).
Pendapat Hanafiyah:
Sahnya shalat Jum’at tidak dipersyaratkan harus di masjid. Bahkan sah
ditunaikan di tempat terbuka. Dengan syarat tidak jauh dari kota lebih
dari empat farsakh (3 mil) dan Imam mengizinkan untuk menunaikan Jum’at di situ.
Setelah mengetahui beberapa pendapat –yang memang dalam ranah ikhtilaf- masih adakah yang menyatakan bid’ah?.*
Penulis adalah Alumni Al Azhar Mesir, peserta PKU VIII UNIDA Gontor 2014
www.hidayatullah.com
No comments:
Post a Comment