Oleh: Shalih Hasyim
KETIKA para dai, muballigh Islam yang datang dari berbagai suku dan bangsa menyebarkan dinul Islam ke berbagai pelosok dunia, hingga di wilayah Nusantara, mereka yakin secara utuh (al yaqinu kulluhu) bahwa Islam jalan kebenaran (al Haq) dan keselamatan (as Salam). Seandainya kala itu mereka memandang semua agama benar –layaknya paham kaul liberal-- tentu tidak sampai pergi jauh melintasi pulau dan samudera hanya untuk berkorban waktu dan nyawa. Karena keyakinan akan kebenaran itulah, mereka melakukan ekpansi dakwah.
Namun, tiada ekspansi dakwah spektakuler melebihi masa kekhalifahan Umar bin Khathab. Dalam masa 10 tahun (seputar 18 negara secara beruntun), dalam waktu kurang dari enam bulan terjadi ekspansi dakwah secara berkelanjutan (istimrar).
Ketika memimpin upacara penugasan dakwah, kala itu, khalifah Islam II ini berpesan: “Fii ayyi ardhin tatho’ anta masulun ‘an islamiha” (Di bumi manapun kakimu menginjak kalian bertanggungjawab untuk mengislamkan dan menjaga kebenaran Islam penduduk setempat). Sejak zaman beliau Islam akhirnya makin menyebar ke seluruh dunia hingga di kepulauan Nusantara. (Sejarah Ummat Islam V, Prof. Dr. Hamka).
Keyakinan yang mencerahkan
Kaum muslimin pantang menggunakan cara-cara kekerasan, intimidasi, agar orang lain mengikuti Islam. Tetapi Islam datang dengan jalan pencerahan dan penyadaran (iqra bismi rabbik).
“Menang tanpo ngasorake, nglurug tanpa bala,” demikian kata sebuah pepata Jawa. Maksudnya, “menang dengan tidak merendahkan musuh dan mendatangi tidak dengan membawa bala tentara,” itulah Islam. Kesadaran yang tumbuh pada pribadi obyek dakwah inilah yang paling mahal dan menjadi tujuan pendakwah.
Hanya yang memiliki keyakinan yang tidak terkontaminasi dengan keraguan sedikitpun, dengan ditambahi gelora dakwah, mereka berani mengarungi samudera, meninggalkan keluarga dan kampung halaman yang dicintainya. Mereka rela berbagi kebenaran untuk mengabarkan Islam ke seluruh penjuru dunia.
Spirit dakwah itulah yang menjadi landasan berpikir dan patokan tokoh pergerakan modern, Syeikh Hasan Al Banna. Ia mengabdikan dirinya secara total untuk dakwah, dengan mendirikan jamaah Al Ikhwan al Muslimun, empat tahun pasca runtuhnya khilafah Islam Turki Utsmani (1928).
Begitulah para pendakwah sejati. Tak lekang oleh panas dan tak lapuk oleh hujan. Kisah heroik perjuang dakwah para pendahulu kita perlu dijadikan ibrah (pelajaran) dan ‘ubur (jembatan menuju kesuksesan). Menafikan peran dan jasa mereka merupakan tindakan suul adab (tidak beradab). Tugas kita adalah melanjutkan perjuangan dakwah mereka, mencontoh akhlaq dakwah mereka, mengawal kebenaran Islam dan memperbaiki sisi-sisi tertentu yang perlu disesuaikan dengan tantangan dakwah kontemporer.
Di Korea Selatan Islam masuk melalui pergaulan dan pengaruh kebiasaan baik yang menjadi kultur tentara muslim Turki. Di sana terdapat tentara-tentara muslim yang bertugas pada masa terjadi Perang Korea.
Pada waktu tertentu orang-orang Korea melihat tentara-tentara Turki itu pergi bersuci dengan membasuh muka, tangan dan kaki, lalu berbaris dengan khusyu’, tertib, dan teratur, lalu penduduk setempat terkesan, seraya berkata, “Siapakah kalian? Mereka menjawab, “Kami adalah orang-orang Islam” Mereka bertanya lagi, “Apakah Islam itu?” Lalu Islam diperkenalkan kepada mereka sesuai dengan pengalaman beragama dan pengetahuan yang dimiliki oleh pasukan Turki itu. Maka masuklah ke dalam pelukan Islam beribu-ribu orang Korea karena adanya keteladanan yang bagus itu.
Dalam sejarah Nusantara, secara damai, Islam berhasil menyebar dan mendominasi wilayah Melayu-Indonesia. Selama ratusan tahun Islam kemudian mempribadi di person bangsa Indonesia. Para dai hanya melanjutkan tugas nubuwwah dan risalah yang disempurnakan oleh Rasulullah SAW untuk menyebarkan rahmatan lil ‘alamin dan kaffatan linnas.
Padahal, semula penduduk Nusantara didominasi oleh Hindu, Budha, animisme dan dinamisme. Namun tiba-tiba, mereka beralih kepada agama Islam sebagai spirit dan jalan kehidupan yang baru. Tentu dakwah ini tidak sehari, melewati proses yang panjang (konstan), bukan secara kebetulan (konstan). Para muballigh tidak begitu saja merebut kekuasaan dari tangan penguasa Hindu/Budha. Kekuasaan adalah pilihan rakyat yang telah memeluk Islam, dan menjadikan Islam sebagai acuan tata kelola kehidupan (minhajul hayah).
Islam memperoleh kemenangan dan tersebar dengan baik berkat adanya keteladanan yang agung. Orang-orang melihat gambaran atau potret Islam yang menyatu dengan perilaku pemeluknya, tergambar dalam jasad dan tindakannya. Demikianlah Islam tersebar pada masa-masa awal perintisannya.
Sayang, dinding yang paling tebal yang membatasi dunia dari Islam hari ini adalah kaum muslimin sendiri. Islam itu sangat indah apabila dibaca dalam kitab-kitab, tetapi ketika orang melihat Islam ini pada diri pemeluknya. Mereka bertanya, “Mengapa para pemeluknya tidak mengamalkannya?”
Islam menyerukan sikap tolong-menolong, mengapa banyak orang yang hidup terhina di Negara-negara Islam? Islam menyerukan kekuatan, tetapi mengapa kondisi kaum muslimin begitu lemah? Islam menyerukan ilmu dan kemajuan, tetapi kita temukan Negara-negara Islam merupakan fenomena keterbelakangan dan kebodohan. Bahkan termasuk kita sendiri yang bodoh akan ilmu dan masalah-masalah Islam. Kita sudah mengenal Islam sejak bayi, namun sampai usia kita menjelang 50 tahun, kita tidak malu dan selalu menyebut orang awam. Kapan kita memiliki rasa bangga akan ilmu agama kita?
Islam menjunjung tinggi persatuan, mengapa dunia Islam belum memiliki alasan untuk bersinergi dan menyatukan potensi masing-masing, sehingga ketika Israel dengan pongah mengangkangi Palestina kita semua diam saja?
Mayoritas kaum muslimin (yang jumlahnya lebih dari 6,5 milyar) mereka masih lebih suka menonjolkan identitas geografis dari pada ikatan ideologisnya.
Orang Islam yang mengamalkan ajaran Islam yang dipahaminya secara konsisten, Allah akan mengajarinya ilmu baru yang tidak diketahui sebelumnya. Sekalipun yang diamalkan hanya itu-itu saja.
Lihatlah betapa indahnya berislam, alangkah bagusnya adab Islam, alangkah mulianya akhlaq Islam. Mereka menyaksikan ajaran-ajaran Islam dalam bentuk tingkah laku dan perbuatan nyata.
Demikianlah Islam sebagai agama dakwah (dinul dakwah wal intisyar) tersebar ke seluruh dunia, tidak dengan kata-kata dan makalah-makalah, tetapi tersebar dengan amal, akhlaq dan perilaku keseharian.
Oleh karena itu merupakan tuntutan bagi kita menjadi contoh peragaan bagi Islam, menjadi organ kehidupan dalam tubuh ummat Islam, menjadi mushaf berjalan dengan dua kaki, dan menjadi mushaf yang telah ditafsirkan dalam bentuk perbuatan. Di berbagai medan kehidupan. Di pasar, masjid, parlemen, dunia perbankan, pabrik, sekolah, dan di tempat-tempat wisata dll. Perilaku yang lurus indikator pemahaman yang benar.
Jadi, tidaklah keliru jika ummat Islam meyakini kebenaran agamanya. Bahkan wajib. Keyakinan adalah modal dasar untuk menuju perubahan besar. Tanpa keyakinan dan dikawal dengan akhlak, suatu bangsa, umat, atau peradaban, akan musnah ditelan zaman dan akan menjadi budak bagi peradaban lain.
KH. Ahmad Dahlan pernah mengungkapkan sebuah syair arab :
وَ نَهْجُو سَبِيْلِي وَاضِحٌ لِمَن اِهْتَدى وَ لَكِنَّ الا هوَاءَ عَمَّت فأَعْمَتْ
“Jalan agamaku terang benderang bagi orang yang mendapat petunjuk, tetapi hawa nafsu merajalela kemudian membutakan (hati manusia).”
Pertanyaanya, kapan kita –termasuk anak-istri dan keluarga kita-- akan mempraktekkan peradaban Islam yang indah ini? *
Penulis adalah kolumnis hidayatullah.com, tinggal di Kudus, Jawa Tengah
Namun, tiada ekspansi dakwah spektakuler melebihi masa kekhalifahan Umar bin Khathab. Dalam masa 10 tahun (seputar 18 negara secara beruntun), dalam waktu kurang dari enam bulan terjadi ekspansi dakwah secara berkelanjutan (istimrar).
Ketika memimpin upacara penugasan dakwah, kala itu, khalifah Islam II ini berpesan: “Fii ayyi ardhin tatho’ anta masulun ‘an islamiha” (Di bumi manapun kakimu menginjak kalian bertanggungjawab untuk mengislamkan dan menjaga kebenaran Islam penduduk setempat). Sejak zaman beliau Islam akhirnya makin menyebar ke seluruh dunia hingga di kepulauan Nusantara. (Sejarah Ummat Islam V, Prof. Dr. Hamka).
Keyakinan yang mencerahkan
Kaum muslimin pantang menggunakan cara-cara kekerasan, intimidasi, agar orang lain mengikuti Islam. Tetapi Islam datang dengan jalan pencerahan dan penyadaran (iqra bismi rabbik).
“Menang tanpo ngasorake, nglurug tanpa bala,” demikian kata sebuah pepata Jawa. Maksudnya, “menang dengan tidak merendahkan musuh dan mendatangi tidak dengan membawa bala tentara,” itulah Islam. Kesadaran yang tumbuh pada pribadi obyek dakwah inilah yang paling mahal dan menjadi tujuan pendakwah.
Hanya yang memiliki keyakinan yang tidak terkontaminasi dengan keraguan sedikitpun, dengan ditambahi gelora dakwah, mereka berani mengarungi samudera, meninggalkan keluarga dan kampung halaman yang dicintainya. Mereka rela berbagi kebenaran untuk mengabarkan Islam ke seluruh penjuru dunia.
Spirit dakwah itulah yang menjadi landasan berpikir dan patokan tokoh pergerakan modern, Syeikh Hasan Al Banna. Ia mengabdikan dirinya secara total untuk dakwah, dengan mendirikan jamaah Al Ikhwan al Muslimun, empat tahun pasca runtuhnya khilafah Islam Turki Utsmani (1928).
Begitulah para pendakwah sejati. Tak lekang oleh panas dan tak lapuk oleh hujan. Kisah heroik perjuang dakwah para pendahulu kita perlu dijadikan ibrah (pelajaran) dan ‘ubur (jembatan menuju kesuksesan). Menafikan peran dan jasa mereka merupakan tindakan suul adab (tidak beradab). Tugas kita adalah melanjutkan perjuangan dakwah mereka, mencontoh akhlaq dakwah mereka, mengawal kebenaran Islam dan memperbaiki sisi-sisi tertentu yang perlu disesuaikan dengan tantangan dakwah kontemporer.
Di Korea Selatan Islam masuk melalui pergaulan dan pengaruh kebiasaan baik yang menjadi kultur tentara muslim Turki. Di sana terdapat tentara-tentara muslim yang bertugas pada masa terjadi Perang Korea.
Pada waktu tertentu orang-orang Korea melihat tentara-tentara Turki itu pergi bersuci dengan membasuh muka, tangan dan kaki, lalu berbaris dengan khusyu’, tertib, dan teratur, lalu penduduk setempat terkesan, seraya berkata, “Siapakah kalian? Mereka menjawab, “Kami adalah orang-orang Islam” Mereka bertanya lagi, “Apakah Islam itu?” Lalu Islam diperkenalkan kepada mereka sesuai dengan pengalaman beragama dan pengetahuan yang dimiliki oleh pasukan Turki itu. Maka masuklah ke dalam pelukan Islam beribu-ribu orang Korea karena adanya keteladanan yang bagus itu.
Dalam sejarah Nusantara, secara damai, Islam berhasil menyebar dan mendominasi wilayah Melayu-Indonesia. Selama ratusan tahun Islam kemudian mempribadi di person bangsa Indonesia. Para dai hanya melanjutkan tugas nubuwwah dan risalah yang disempurnakan oleh Rasulullah SAW untuk menyebarkan rahmatan lil ‘alamin dan kaffatan linnas.
Padahal, semula penduduk Nusantara didominasi oleh Hindu, Budha, animisme dan dinamisme. Namun tiba-tiba, mereka beralih kepada agama Islam sebagai spirit dan jalan kehidupan yang baru. Tentu dakwah ini tidak sehari, melewati proses yang panjang (konstan), bukan secara kebetulan (konstan). Para muballigh tidak begitu saja merebut kekuasaan dari tangan penguasa Hindu/Budha. Kekuasaan adalah pilihan rakyat yang telah memeluk Islam, dan menjadikan Islam sebagai acuan tata kelola kehidupan (minhajul hayah).
Islam memperoleh kemenangan dan tersebar dengan baik berkat adanya keteladanan yang agung. Orang-orang melihat gambaran atau potret Islam yang menyatu dengan perilaku pemeluknya, tergambar dalam jasad dan tindakannya. Demikianlah Islam tersebar pada masa-masa awal perintisannya.
Sayang, dinding yang paling tebal yang membatasi dunia dari Islam hari ini adalah kaum muslimin sendiri. Islam itu sangat indah apabila dibaca dalam kitab-kitab, tetapi ketika orang melihat Islam ini pada diri pemeluknya. Mereka bertanya, “Mengapa para pemeluknya tidak mengamalkannya?”
Islam menyerukan sikap tolong-menolong, mengapa banyak orang yang hidup terhina di Negara-negara Islam? Islam menyerukan kekuatan, tetapi mengapa kondisi kaum muslimin begitu lemah? Islam menyerukan ilmu dan kemajuan, tetapi kita temukan Negara-negara Islam merupakan fenomena keterbelakangan dan kebodohan. Bahkan termasuk kita sendiri yang bodoh akan ilmu dan masalah-masalah Islam. Kita sudah mengenal Islam sejak bayi, namun sampai usia kita menjelang 50 tahun, kita tidak malu dan selalu menyebut orang awam. Kapan kita memiliki rasa bangga akan ilmu agama kita?
Islam menjunjung tinggi persatuan, mengapa dunia Islam belum memiliki alasan untuk bersinergi dan menyatukan potensi masing-masing, sehingga ketika Israel dengan pongah mengangkangi Palestina kita semua diam saja?
Mayoritas kaum muslimin (yang jumlahnya lebih dari 6,5 milyar) mereka masih lebih suka menonjolkan identitas geografis dari pada ikatan ideologisnya.
Orang Islam yang mengamalkan ajaran Islam yang dipahaminya secara konsisten, Allah akan mengajarinya ilmu baru yang tidak diketahui sebelumnya. Sekalipun yang diamalkan hanya itu-itu saja.
Lihatlah betapa indahnya berislam, alangkah bagusnya adab Islam, alangkah mulianya akhlaq Islam. Mereka menyaksikan ajaran-ajaran Islam dalam bentuk tingkah laku dan perbuatan nyata.
Demikianlah Islam sebagai agama dakwah (dinul dakwah wal intisyar) tersebar ke seluruh dunia, tidak dengan kata-kata dan makalah-makalah, tetapi tersebar dengan amal, akhlaq dan perilaku keseharian.
Oleh karena itu merupakan tuntutan bagi kita menjadi contoh peragaan bagi Islam, menjadi organ kehidupan dalam tubuh ummat Islam, menjadi mushaf berjalan dengan dua kaki, dan menjadi mushaf yang telah ditafsirkan dalam bentuk perbuatan. Di berbagai medan kehidupan. Di pasar, masjid, parlemen, dunia perbankan, pabrik, sekolah, dan di tempat-tempat wisata dll. Perilaku yang lurus indikator pemahaman yang benar.
Jadi, tidaklah keliru jika ummat Islam meyakini kebenaran agamanya. Bahkan wajib. Keyakinan adalah modal dasar untuk menuju perubahan besar. Tanpa keyakinan dan dikawal dengan akhlak, suatu bangsa, umat, atau peradaban, akan musnah ditelan zaman dan akan menjadi budak bagi peradaban lain.
KH. Ahmad Dahlan pernah mengungkapkan sebuah syair arab :
وَ نَهْجُو سَبِيْلِي وَاضِحٌ لِمَن اِهْتَدى وَ لَكِنَّ الا هوَاءَ عَمَّت فأَعْمَتْ
“Jalan agamaku terang benderang bagi orang yang mendapat petunjuk, tetapi hawa nafsu merajalela kemudian membutakan (hati manusia).”
Pertanyaanya, kapan kita –termasuk anak-istri dan keluarga kita-- akan mempraktekkan peradaban Islam yang indah ini? *
Penulis adalah kolumnis hidayatullah.com, tinggal di Kudus, Jawa Tengah
Sumber : hidayatullah.com
No comments:
Post a Comment