JARUM menunjukkan pukul 17.00 sore. Masjid Al Husna, Rumah Tahanan Negara (Rutan) Medaeng, Surabaya telah ramai oleh jamaah. Mereka ada yang shalat sunnah, baca al-Qur’an dan zikir. Sekilas, tak tampak jika mereka adalah tahanan rutan kelas satu di kota pahlawan. Pasalnya, mereka juga memakai sarung, gamis, dan songkok. Mirip seperti santri di pondok pesantren.
Tak hanya itu, mereka juga pandai baca al-Qur’an. Bacaan mereka tartil dan bagus. Selain baca al-Qur’an, ada juga jamaah yang memilih berzikir. Mereka duduk mojok di sudut masjid. Mulut mereka komat-kamit menyebut asma Allah dengan mata terpejam dengan kepala sedikit digoyang ke kanan dan kiri. Sedangkan tangan mereka sibuk menggerakkan tasbih. Bahkan, mungkin karena saking khusuknya, ada salah satu jamaah yang menitikkan air mata.
Sepuluh menit kemudian, Tohari, salah satu narapidana (Napi) memimpin istighosah. Jamaah yang tadinya duduk berhamburan di dalam maupun di luar masjid, kemudian masuk ke masjid. Tohari memiliki suara yang bagus. Bahkan, tak kalah jika dibanding ustad di luar rutan. Tak hanya itu, Tohari juga pandai melantunkan doa-doa. “Ya arhamar raahimin” ucapnya dengan nada dilagukan. Terdengar merdu.
Beberapa menit lamanya para jamaah tenggelam dalam zikir. Suasana pun berubah khusuk. Tak ada suara kecuali zikir dan doa. Istighosah berakhir ketika azan maghrib tiba. Seorang tahanan berdiri dan mengumandangkan azan. Suaranya pun tak kalah bagus dengan Tohari. “Allahu Akbar, Allahu Akbar,” teriaknya sambil diikuti jamaah. Ketika adzan selesai, muzain langsung iqamat. Para jamaah pun serentak berdiri mengisi shaf dengan rapi.
Suasana seperti itu terjadi setiap shalat magrib. Padahal, para tahanan tidak diwajibkan untuk shalat jamaah. Para tahanan melakukannya dengan sukarela.
“Mereka melakukannya sendiri dengan sadar, tak kami wajibkan” kata Kepala Sub Seksi Bimbingan Kegiatan, Muhammad Toha kepada hidayatullah.com Selasa (8/3).
Untuk masalah agama, kata Toha, pihak rutan tidak mewajibkan para tahanan untuk ikut ibadah. Tapi, kendati begitu, tak sedikit mereka yang sadar dan beribadah. Karena itu, menjelang magrib tiba, tahanan sudah berkumpul di masjid, ada yang shalat, baca al Quran dan zikir.
Yang namanya tahanan, kata Toha, butuh pembinaan rohani. Karena itu, hampir setiap hari rutan menyediakan dai.
“Setiap hari ada ustadz yang mengisi ceramah,” katanya. Untuk mendatangkan ustadz, rutan bekerjasama dengan beberapa lembaga agama. Di antaranya Unsuri, Al-Falah, dan ada juga yang berasal dari individu.
Seperti Rabu sore kemarin. Ahmad Fathi, dai asal Universitas Sunan Giri (Unsuri) memberikan ceramah soal tata cara shalat. Fathi menggunakan kitab Fiqh Safinatun Najah. Para tahanan pun antusias memperhatikan. Bahkan usai acara, ada beberapa yang bertanya.
“Dakwah di sini sangat efektif. Selain karena mereka butuh siraman rohani, saya juga merasa sangat bermanfaat,” ujar dosen ilmu hukum itu.
Ceramah Fathi juga menyentuh para tahanan. Salah satunya Ahmad Sidiq. Tahanan asal Bandung, Jabar ini mengaku senang mendengarkan ceramah Fathi.
“Saya suka, ceramahnya bagus,” paparnya. Tak heran, jika Fathi mengisi ceramah, jamaah selalu meluber.
Menunggu Kiprah Umat
Toha mengaku, tahanan butuh sosok dai. Tapi, lanjutnya, untuk mendatangkan dai, pihaknya tak punya banyak dana. Sedangkan, katanya, dai yang ada belum cukup jika dibanding jumlah tahanan.
Toha pun tidak bisa berharap banyak. Pasalnya, menurut Toha, pihak rutan tak punya banyak dana untuk mendatangkan ustadz.
“Dana dari pemerintah untuk pembinaan sangat kecil. Sekitar Rp 120 ribu per bulan,” katanya. Karena itu, hanya ustadz yang ikhlas dan rela berkorban yang mau berdakwah di rutan seperti ini, ujarnya.
Dana sebesar itu, kata Toha tak cukup digunakan honor ustadz. Untuk memberi amplop khatib Jum’at saja tak cukup. Karena itu, ujar Toha, ada ustadz yang tak datang lagi gara-gara tak diberi amplop. Kendati demikian, kata Toha, sekarang sebisa mungkin para ustadz diberi honor meski jumlahnya tak seberapa. Dana itu, kata Toha, berasal dari hasil sumbangan jamaah tiap hari Jum’at.
“Hasilnya itu buat membayar penceramah dari luar,” paparnya.
Di tengah keterbatasan, Toha punya cara lain. Ia memanfaatkan napi yang memiliki bekal agama yang kuat. Salah satunya Tohari. Tohari dijadikan ketua takmir masjid dan bertugas mengajari tahanan lainnya. Apalagi, Tohari pernah nyantri di Pesantren Al-Fitrah, Kedinding, Surabaya.
Tidak hanya itu, pihak rutan juga mengadakan sejumlah kegiatan keagamaan. Hampir setiap hari ada jadwal kegiatan, mulai dari tadarus al Qur’an, pengajian, rebana, istighosah, shalat taubat, shalat tasbih dan lain sebagainya.
Tohari, napi yang mendapat hukuman tiga tahun dua bulan penjara mengaku sangat bisa bermanfaat tinggal di balik bui.
“Banyak hikmah yang saya dapat. Selain bisa mengajarkan agama, saya juga jadi makin rajin ibadah,” tutur ayah dua anak ini.
Apa yang dirasakan Tohari juga dirasakan sebagian tahanan lainnya. Karena itu, jika waktu blok sel dibuka, entah waktu shalat atau bukan, pasti banyak yang ke masjid untuk beribadah.
“Biasanya, blok dibuka pukul 6.30 WIB pagi. Jam 7.30 WIB mereka sudah berkumpul di masjid,” katanya. Masjid memang menjadi tempat pilihan bagi para tahanan untuk beribadah dan menenangkan diri.
Adanya suasana ibadah yang hidup itu, kata Toha, secara tidak langsung memberikan daya tarik bagi tahanan lain yang belum tersentuh.
“Siapa tahu yang mendengarkan ceramah di hatinya ada “kretek” untuk mengamalkannya,” jelasnya.
Karena itu, setiap ceramah, tadarus al-Quran atau istigosah biasanya menggunakan pengeras suara. Dari situ, tahanan lain bisa mendengarkan.
Kata Toha, “pesantren Medaeng” biasanya fokus ibadah dan berada di areal yang terjaga. Karena itu, rutan juga bisa dibilang seperti pesantren.
“Di sini, mereka bisa lebih fokus ibadah dan lebih terkontrol” katanya.
Hanya saja, Toha mengaku iri dengan upaya kalangan Kristen yang sigap dalam pembinaan ruhani umatnya di rumah tahanan ini.
“Ada 32 Gereja yang membina mereka dan membagikan makanan,” katanya. Ia berharap, masalah ini bisa direspon secara cepat umat Islam agar bisa melakukan pembinaan tahanan di rutan. Nah, siapa mau membantu membina mereka? *
Sumber : hidayatullah.com
Tak hanya itu, mereka juga pandai baca al-Qur’an. Bacaan mereka tartil dan bagus. Selain baca al-Qur’an, ada juga jamaah yang memilih berzikir. Mereka duduk mojok di sudut masjid. Mulut mereka komat-kamit menyebut asma Allah dengan mata terpejam dengan kepala sedikit digoyang ke kanan dan kiri. Sedangkan tangan mereka sibuk menggerakkan tasbih. Bahkan, mungkin karena saking khusuknya, ada salah satu jamaah yang menitikkan air mata.
Sepuluh menit kemudian, Tohari, salah satu narapidana (Napi) memimpin istighosah. Jamaah yang tadinya duduk berhamburan di dalam maupun di luar masjid, kemudian masuk ke masjid. Tohari memiliki suara yang bagus. Bahkan, tak kalah jika dibanding ustad di luar rutan. Tak hanya itu, Tohari juga pandai melantunkan doa-doa. “Ya arhamar raahimin” ucapnya dengan nada dilagukan. Terdengar merdu.
Beberapa menit lamanya para jamaah tenggelam dalam zikir. Suasana pun berubah khusuk. Tak ada suara kecuali zikir dan doa. Istighosah berakhir ketika azan maghrib tiba. Seorang tahanan berdiri dan mengumandangkan azan. Suaranya pun tak kalah bagus dengan Tohari. “Allahu Akbar, Allahu Akbar,” teriaknya sambil diikuti jamaah. Ketika adzan selesai, muzain langsung iqamat. Para jamaah pun serentak berdiri mengisi shaf dengan rapi.
Suasana seperti itu terjadi setiap shalat magrib. Padahal, para tahanan tidak diwajibkan untuk shalat jamaah. Para tahanan melakukannya dengan sukarela.
“Mereka melakukannya sendiri dengan sadar, tak kami wajibkan” kata Kepala Sub Seksi Bimbingan Kegiatan, Muhammad Toha kepada hidayatullah.com Selasa (8/3).
Untuk masalah agama, kata Toha, pihak rutan tidak mewajibkan para tahanan untuk ikut ibadah. Tapi, kendati begitu, tak sedikit mereka yang sadar dan beribadah. Karena itu, menjelang magrib tiba, tahanan sudah berkumpul di masjid, ada yang shalat, baca al Quran dan zikir.
Yang namanya tahanan, kata Toha, butuh pembinaan rohani. Karena itu, hampir setiap hari rutan menyediakan dai.
“Setiap hari ada ustadz yang mengisi ceramah,” katanya. Untuk mendatangkan ustadz, rutan bekerjasama dengan beberapa lembaga agama. Di antaranya Unsuri, Al-Falah, dan ada juga yang berasal dari individu.
Seperti Rabu sore kemarin. Ahmad Fathi, dai asal Universitas Sunan Giri (Unsuri) memberikan ceramah soal tata cara shalat. Fathi menggunakan kitab Fiqh Safinatun Najah. Para tahanan pun antusias memperhatikan. Bahkan usai acara, ada beberapa yang bertanya.
“Dakwah di sini sangat efektif. Selain karena mereka butuh siraman rohani, saya juga merasa sangat bermanfaat,” ujar dosen ilmu hukum itu.
Ceramah Fathi juga menyentuh para tahanan. Salah satunya Ahmad Sidiq. Tahanan asal Bandung, Jabar ini mengaku senang mendengarkan ceramah Fathi.
“Saya suka, ceramahnya bagus,” paparnya. Tak heran, jika Fathi mengisi ceramah, jamaah selalu meluber.
Menunggu Kiprah Umat
Toha mengaku, tahanan butuh sosok dai. Tapi, lanjutnya, untuk mendatangkan dai, pihaknya tak punya banyak dana. Sedangkan, katanya, dai yang ada belum cukup jika dibanding jumlah tahanan.
Toha pun tidak bisa berharap banyak. Pasalnya, menurut Toha, pihak rutan tak punya banyak dana untuk mendatangkan ustadz.
“Dana dari pemerintah untuk pembinaan sangat kecil. Sekitar Rp 120 ribu per bulan,” katanya. Karena itu, hanya ustadz yang ikhlas dan rela berkorban yang mau berdakwah di rutan seperti ini, ujarnya.
Dana sebesar itu, kata Toha tak cukup digunakan honor ustadz. Untuk memberi amplop khatib Jum’at saja tak cukup. Karena itu, ujar Toha, ada ustadz yang tak datang lagi gara-gara tak diberi amplop. Kendati demikian, kata Toha, sekarang sebisa mungkin para ustadz diberi honor meski jumlahnya tak seberapa. Dana itu, kata Toha, berasal dari hasil sumbangan jamaah tiap hari Jum’at.
“Hasilnya itu buat membayar penceramah dari luar,” paparnya.
Di tengah keterbatasan, Toha punya cara lain. Ia memanfaatkan napi yang memiliki bekal agama yang kuat. Salah satunya Tohari. Tohari dijadikan ketua takmir masjid dan bertugas mengajari tahanan lainnya. Apalagi, Tohari pernah nyantri di Pesantren Al-Fitrah, Kedinding, Surabaya.
Tidak hanya itu, pihak rutan juga mengadakan sejumlah kegiatan keagamaan. Hampir setiap hari ada jadwal kegiatan, mulai dari tadarus al Qur’an, pengajian, rebana, istighosah, shalat taubat, shalat tasbih dan lain sebagainya.
Tohari, napi yang mendapat hukuman tiga tahun dua bulan penjara mengaku sangat bisa bermanfaat tinggal di balik bui.
“Banyak hikmah yang saya dapat. Selain bisa mengajarkan agama, saya juga jadi makin rajin ibadah,” tutur ayah dua anak ini.
Apa yang dirasakan Tohari juga dirasakan sebagian tahanan lainnya. Karena itu, jika waktu blok sel dibuka, entah waktu shalat atau bukan, pasti banyak yang ke masjid untuk beribadah.
“Biasanya, blok dibuka pukul 6.30 WIB pagi. Jam 7.30 WIB mereka sudah berkumpul di masjid,” katanya. Masjid memang menjadi tempat pilihan bagi para tahanan untuk beribadah dan menenangkan diri.
Adanya suasana ibadah yang hidup itu, kata Toha, secara tidak langsung memberikan daya tarik bagi tahanan lain yang belum tersentuh.
“Siapa tahu yang mendengarkan ceramah di hatinya ada “kretek” untuk mengamalkannya,” jelasnya.
Karena itu, setiap ceramah, tadarus al-Quran atau istigosah biasanya menggunakan pengeras suara. Dari situ, tahanan lain bisa mendengarkan.
Kata Toha, “pesantren Medaeng” biasanya fokus ibadah dan berada di areal yang terjaga. Karena itu, rutan juga bisa dibilang seperti pesantren.
“Di sini, mereka bisa lebih fokus ibadah dan lebih terkontrol” katanya.
Hanya saja, Toha mengaku iri dengan upaya kalangan Kristen yang sigap dalam pembinaan ruhani umatnya di rumah tahanan ini.
“Ada 32 Gereja yang membina mereka dan membagikan makanan,” katanya. Ia berharap, masalah ini bisa direspon secara cepat umat Islam agar bisa melakukan pembinaan tahanan di rutan. Nah, siapa mau membantu membina mereka? *
Sumber : hidayatullah.com
No comments:
Post a Comment