SEORANG ulama salaf pernah berkata: “Betapa banyak seorang hamba
siang malam sujud dan bermunajad kepada Allah SWT, namun semuanya hampa
tanpa sedikitpun pahala. Sebaliknya, ada hamba Allah yang terkesan
“santai” dalam beribadah, tetapi oleh Allah diganjar dengan pahala
melimpah” (Syeikh Zein bin Smith, al-Manhaj al-Sawi). Bagaimanakah hal ini bisa terjadi?
Kita pun berpikir, mestinya orang yang berpayah-payah beribadah
itulah yang pantas mendapat pahala yang lebih. Sedangkan seorang hamba
yang ibadahnya biasa-biasa saja itu diganjar dengan pahala yang tidak
melimpah. Bukankah ibadah itu diganjar sesuai kadar kepayahannya?
Sesungguhnya, bukan sekedar kepayahannya yang ditimbang, tapi niat
dan keshahihan ibadah itu. Niat yang benar dan keabsahan ibadah tentunya
tidak lahir kecuali dengan ilmu. Itulah mengapa, ibadah orang yang
berilmu dengan orang bodoh pahalanya tidak sama. Di sinilah pentingnya
ilmu dalam beribadah, bukan sekedar semangat.
Para salaf al-shalaih telah memberi teladan, beramal shalih mesti
harus dihiasi dengan ilmu. Dan orang yang berilmu wajib mengamalkan.
Tiada dikatakan ilmu jika telah diamalkan.
Rasulullah SAW pernah memperingatkan “Allah tidak akan memberi pahala ilmu kepada kalian kecuali kalian telah mengamalkannya.” (HR. Turmudzi).
Sebelum beramal, seseorang mesti menguasai ilmunya. Layaknya, orang
yang ingin mengoperasikan komputer mesti dia belajar dahulu cara
mengoperasikannya. Bila tidak, ia bakal merusak perangkat komputer
tersebut, karena kesalahan dalam pengoperasian.
Ilmu yang diamalkan akan memberi efek positif bagi orang menjalankan
ibadah. Ibadah yang sia-sia dan tidak memberi kontribusi apapun terhadap
pelakuknya disebabkan oleh kosongnya ilmu. Itulah mengapa, banyak
sekali orang menunaikan shalat, puasa dan haji, namun tidak memberi efek
baik apapun kepadanya kecuali justru menambah kemungkaran.
Setan tidak akan tinggal diam ada seorang hamba begitu semangat
beribadah. Ia pasti akan memasang jebakan. Hanya orang-orang yang
berilmu yang paham tipuan manis setan.
Yang diinginkan setan adalah seorang hamba bermaksiat tapi disangka
ibadah. Manusia digiring untuk bermaksiat tapi perasaannya ditutupi
agar tidak merasa berdosa. Bisa kita saksikan betapa banyak
saudara-saudara kita bermaksiat tapi ia menyangka hal tersebut adalah
amal shalih – yang mendatangkan pahala.
Dikisahkan dari Syeikh Muhammad bin ‘Araby dalam kitab Futuhat
Ilahiyyah, ada seorang lelaki berasal dari Maroko yang amat serius
beribadah siang-malam. Ia sama sekali tidak memikirkan urusan duniawi,
bahkan ia tidak menikah. Hartanya hanya cukup untuk makan, minum dan
berteduh. Satu-satunya harta yang paling berharga adalah seekor himar.
Namun, himar itu tidak digunakan, sebagaimana para penduduk biasa
menggunakan himar untuk keperluan berdagang. Ia simpan saja himar itu di
dalam rumah.
Suatu saat penduduk sekitar bertanya-tanya mengenai tabiat orang
lelaki tadi. Ia sangat jarang keluar rumah, untuk sekedar bergaul atau
bekerja. Seseorang diantara mereka bertanya, mengapa engkau tidak
menyisakan waktu sedikitpun untuk bekerja, padahal engkau mempunyai
himar yang bisa engkau manfaatkan untuk bekerja di pasar?.
“Tidaklah aku berdiam diri dan menyimpan himar di dalam rumah
semata-mata karena untuk menghindari maksiat, aku ingin menjaga
kemaluanku dari berzina dan bertemu wanita. Oleh karenanya, saat syahwat
itu datang, aku mendatangi himarku. Dari pada aku menyetubui wanita
lebih baik aku bersetubuh dengan himar saja” jawab lelaki polos. Lelaki
itu mengira menyetubi hewan adalah halal.
Kisah tersebut menunjukkan betapa berbahayanya beramal tanpa ilmu. Ia
mengira apa yang telah dialkukan sah-sah saja menurut agama. Sorang jahil (bodoh)
tidak merasa bahwa ia telah melakukan sesuatu pelanggaran berat selama
bertahun-tahun disebabkan karena ia tidak melakukan pembacaan dan kajian
terlebih dahulu.
Perasaan yang demikian inilah yang amat disukai setan.
Perasaan yang demikian inilah yang amat disukai setan.
Mengira bertaqarrub (mendekatkan diri) kepada Allah SWT, tapi sebenarnya menuai murka-Nya. Bagi setan menaklukkan seribu ahli ibadah (yang jahil) lebih mudah dari pada mengalahkan seorang berilmu.
Rasulullah SAW bersabda “Orang berilmu satu (faqih) lebih berat bagi setan, daripada seribu ahli ibadah.” (HR. Turmudzi).
Oleh sebab itu, setan paling sulit menghadapi seorang yang alim.
Seperti yang pernah dialami oleh Syeikh ‘Abdul Qadil Jailaniy tatkala ia
bertqarrub di tengah malam. Tiba-tiba datang bisikan yang mengaku-ngaku
Allah “Mulai malam ini engkau tidak perlu lagi mengabdi kepada-Ku,
karena ibadah yang telah engkau lakukan sudah cukup” .
Tapi, ahli sufi dari Baghdad ini langsung melaknat dan mengusir
pembisik tadi yang tiada lain adalah iblis. Sebelum lari, si iblis
berkata “Pada malam ini saya sudah menyesatkan tujuh puluh orang seperti
kamu ini, dan mereka mengikuti bisikan saya”.
Syeikh ‘Abdul Qadir Jailaniy selamat dari tipuan iblis karena beliau
berilmu, bisa membedakan mana lawan, dan mana kawan, mana ilham dan mana
bisikan setan.
Menurut Syeikh al-Jilani orang yang dicoba seperti kisah nya tersebut tadi sangat banyak. Kebanyakan yang dicoba dengan seperti itu adalah orang yang sedang beribadah dengan tekun. Makanya, beribadah itu harus dengan kecerdasan, bukan dengan semangat saja.
Menurut Syeikh al-Jilani orang yang dicoba seperti kisah nya tersebut tadi sangat banyak. Kebanyakan yang dicoba dengan seperti itu adalah orang yang sedang beribadah dengan tekun. Makanya, beribadah itu harus dengan kecerdasan, bukan dengan semangat saja.
Beramal dengan cerdas adalah beramal dengan ilmu. Ilmu yang benar
akan melahirkan niat yang benar pula. Niat yang salah biasanya
dikarenakan tidak tahu untuk apa beribadah itu. Orang yang tidak
memiliki bekal ilmu biasanya mudah mendapat tipuan bisikan setan yang
menyesatkan. Bisikan setan memang terasa manis. Tapi sesuatu yang manis
belum tentu sehat. Bahkan yang pahit biasanya menjadi obat.*
No comments:
Post a Comment