PULUHAN tahun lamanya, saya dan keluarga yang berjumlah delapan orang (enam anak, saya, dan istri), bertempat tinggal di gubuk, yang terletak di tengah-tengah perkebunan, nan jauh dari keramaian.
Siapa pun orangnya, tentu merasa tidak nyaman hidup menyendiri macam ini. Hanya bertetanggakan dengan pohon-pohon kelapa, rambutan, pete, dll. Serta bertemankan nyamuk, dan terkadang binatang buas, semacam ular, pun kerap menjadi ’tamu yang tak diundang’.
Begitu pula kami sekeluarga. Namun, apa mau dikata, himpitan ekonomilah, memaksa kami untuk membetahkan diri, bertahan di lokasi macam ini. Jangankan untuk membangun rumah di perkampungan, untuk biaya makan keseharian, dan membiayai anak-anak sekolah, cukup kewalahan. Dampaknya, tentu bisa ditebak, mereka harus putus sekolah. Paling banter, mereka bisa melanjutkan hingga Sekolah Menengah Pertama (SMP). Itu pun Cuma dua orang. Bahkan, salah satu dari mereka, lebih memilih untuk tidak melanjutkan sekolah, dikarenakan tidak memiliki sepatu. Padahal, saat itu dia baru saja duduk di kelas tiga, Sekolah Dasar (SD).
Masalah konsumsi, kalau tidak ada beras, kami makan apa adanya. Minimal getuk (makanan terbuat dari singkong). Lumayan untuk mengganjal perut keroncongan.
“Ya Allah, ampunilah hambamu ini, sekiranya saya termasuk orang yang kurang amanah terhadap titipan-titipan-Mu.”
Kabut Hitam
Pada penghujung tahun 1986, kembali Allah menitipkan pada kami seorang anak laki-laki, melalui rahim istriku. Tapi, tidak lama merasakan kebahagiaan menyambut penghuni baru gubuk itu, tiba-tiba kabut hitam menaungi keluarga kami.
Istriku sakit. Dari hari ke hari, sakitnya semakin parah. Anak-anak panik. Saya pun tidak jauh berbeda. Terlebih ketika melihat si-bungsu menangis, karena lapar/haus, minta netek (menyusui).
Tak mau mengambil resiko yang lebih besar, saya meminta idzin pada salah satu sanak keluarga, yang memang memiliki dua rumah di kampung, untuk menempati rumahnya, yang memang tidak berpenghuni. Alhamdulillah, beliau mengizinkan. Seluruh keluarga saya bawa pindah ke tempat baru tersebut.
Takdir Allah, sakit istriku justru tambah parah, sampai akhirnya harus menghembuskan napas terakhirnya di atas pembaringan. Tangis anak-anak menggelegar. Para pelayat yang hadir, pun tak kuasa menahan air mata keluar dari kedua pelopak mata mereka. Apatah lagi, ketika mereka menyaksikan si-bungsu, yang meronta-ronta, tak henti-henti menangis. Mereka semakin histeris.
Atur Langkah
Karena harus berperan sebagai ayah sekaligus ibu bagi anak-anak, saya berinisiatif untuk sementara terus menumpang di rumah saudara tersebut. ”Sambil mencari celah penghasilan yang tetap” pikirku.
Gayung bersambut, familiku mendukung penuh keputusanku. Mereka tidak keberatan rumah mereka kutempati, sekalipun tanpa membayar barang sepeser pun.
Selanjutnya, kedua anak saya yang sudah terbilang cukup dewasa, si-sulung (perempuan) saya minta untuk belajar menjahit. Yang nomor dua, saya masukkan di sebuah bengkel mobil. Lainnya, selain menjaga si-bungsu, mereka bertugas merawat kebun.
Saya sendiri, mencoba meraba-raba peluang, di mana saya bisa mendapatkan pekerjaan, guna memenuhi hajat sehari-hari. Segala puji bagi Allah, berkat do’a dan usaha yang keras, saya dipertemukan dengan salah seorang warga keturunan. Saya langsung dipercaya sebagai agen yang menjalankan bisnis jual belinya. Dari sinilah, kemudian saya bisa menghidupi keluarga.
Selang beberapa tahun, si-sulung sudah memiliki kemampuan menjahit, yang sedikit banyak telah mampu menompang perekonomian keluarga. Begitu pula dengan putra nomor dua, dia sudah piawai memperbaiki mobil, sepeda motor, dan sebagainya. Pendek kata, mereka berdua sudah memiliki keahlian di bidangnya masing-masing.
Bak tertimpa durian, tahun 1998, Allah melimpahkan rezekinya pada kami sekeluarga. Dari hasil perniagaan yang saya lakukan, saya mendapat laba yang cukup besar. Sekalipun tidak terlalu besar dan belum sempurna, kami akhirnya mampu mendirikan rumah gedung sendiri.
Pada tahun yang sama, saya memasukkan si-bungsu ke salah satu pondok pesantren, yang menerapkan disiplin bahasa asing.
Kini, keenam anakku telah berkeluarga dan telah memiliki anak yang lucu-lucu. Sibungsu pun, baru selesai mengetaskan pendidikkannya strata 1-nya, di salah satu perguruan tinggi di Jawa.
Dari kejadian ini saya bisa menyimpulkan, “bahwasanya di balik setiap kejadian (baca: musibah) selalu ada rahasia (hikmah), di mana, hanya Allah-lah yang mengetahuinya.”
Semoga pengalaman hidupku ini, bisa menjadi inspirasi bagi siapa saja, terutama bagi kami sekeluarga, untuk senantiasa berfikir positif terhadap apa saja yang kita hadapi di dunia ini.
Besar harapan kami, semoga keluarga kami khususnya dan keluarga kaum Muslimin pada umumnya, senantiasa berada di bawah naungan ridha Allah, sehingga ketika menghadap-Nya, kelak, kita menghadap dengan jiwa yang tenang, kemudian dipersilahkan untuk menikmati syurga-Nya, yang tidak ada bandingan nikmatnya di muka bumi ini. Sebagaimana ayat al-Quran;
”Hai jiwa yang tenang (27) Kembalilah pada Tuhanmu dengan hati yang puas lagi diridhai-Nya (28) Maka masuklah kedalam jama’ah hamba-hamba-Ku (29) Dan masuklah ke dalam syurga-Ku (30).” (Al-Fajr: 27-30). Amin...amin...yaa rabbal ’aalamin. *Robin Sah/hidayatullah.com
No comments:
Post a Comment